Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar
Dewantara, beberapa menuliskan bunyi bahasa Jawanya dengan Ki Hajar
Dewantoro; lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 – meninggal di Yogyakarta, 26
April 1959 pada umur 69 tahun, beliau adalah aktivis pergerakan
kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi
kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri
Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan
seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, TUT WURI HANDAYANI, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, TUT WURI HANDAYANI, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998.
Tokoh
ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai
Bapak Pendidikan Nasional. Hari lahirnya diperingati sebagai Hari
Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh Departemen Pendidikan RI
sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa,
ing ngarsa sungtulada (di belakang memberi dorongan, di tengah
menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).
Selain menjadi
wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan
politik. Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo.
Kemudian, bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia
mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912) yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah Belanda.
Kemudian,
ia dan kawan-kawannya membentuk Komite Bumipoetra (1913) untuk
melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan
seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Untuk
membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik uang dari rakyat
jajahannya. RM Soewardi Soeryaningrat mengkritik lewat tulisannya “Als
Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor
Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk
Satu Juga).
Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat
dijatuhi hukuman buang ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg
tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang
merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan
untuk membela Soewardi. Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat
untuk memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya, keduanya pun
terkena hukuman buang, Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo
ke Banda.
Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke
Negeri Belanda agar bisa belajar. Keinginan tersebut diterima dan mereka
diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari
pelaksanaan hukuman. Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan
kembali ke tanah air pada 1918.
Sekembalinya ke tanah air,
bersama rekan-rekannya, RM Soewardi Soeryaningrat mendirikan Perguruan
Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922). Perguruan ini mendidik para siswanya
untuk memiliki nasionalisme sehingga mau berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan. Demi memuluskan langkahnya-langkahnya, RM Soewardi
Soeryaningrat pun berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Sebagai
seorang bangsawan yang berasal dari lingkungan Kraton Yogyakarta dan
dengan gelar RM di depan namanya, dia kurang leluasa bergerak.
Aktivitas
Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi
Sekolah Liar pada 1932. Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun
berjuang hingga ordonansi itu dicabut. Sambil mengelola Tamansiswa, RM
Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis. Namun bukan lagi soal
politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan.
Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar
pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Tahun 1943, ketika
Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat Tenaga
Rakyat (Putera). Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang
pimpinan bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah
Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai aktivitasnya dalam
memperjuangkan pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka
tersebut, membuatnya dianugerahui gelar doktor kehormatan oleh
Universitas Gadjah Mada (1957).
0 komentar:
Posting Komentar